Kamis, 18 Juli 2013

balada Pisang Goreng


Ramadhan berjalan delapan hari ini dan saya masih gagal berkawan dengan dapur.

Entah ada-ada saja alasan seperti badan yang hampir dua minggu ini ngedrop lah, sok sibuk bermain dengan anak-anak TPA lah, ikut buber disana sinilah, sehingga saya hanya berhasil dalam eksekusinya saja (makan) tanpa perlu ikut berharum-harum dengan ibu di dapur.

Sungguh saya ingin seperti Ibu J beliau tidak pernah kenal lelah, batuknya saja yang tak kalah keras denganku, tak menyurutkannya dalam menyiapkan bekal ifthar bergizi untuk kami sekeluarga.

Tidak pernah ada keluh dari lidah beliau, hanya memang ketika malam menjelang, ibu berlekas istirahat, fisik memang tak pernah bisa menyembunyikan yang beliau rasa.

Namun peristiwa sahur itu, ibu seperti biasa mempersiapkan sahur sambil bercerita riang. Kala itu Ibu sedang menata pisang goreng, sisa hidangan ifthar, Ibu ngendika dengan tersenyum : “Bapakmu bilang, pisang goreng Ibu enak banget.” Hehehe, seketika saya ikut tersipu, turut mencicipi kebahagiaan Ibu.

Sederhana memang, namun Ibu merasakannya seperti kebahagiaan yang berlipat lipat dan memekarkan semangat baru beliau untuk menyiapkan hidangan terbaik. Bukan, bukan sekedar pujian itu yang membuat beliau terlihat bahagia, menurutku, karena toh Ibu tak pernah berharap dipuji.  Bukankah ketulusan Ibu tak bisa lagi kita pungkiri.

Dari kisah sepiring pisang goreng ini pun mengajarkan sesuatu hal bagi saya : hal sesederhana apapun itu ketika kita lakukan dengan sepenuh hati maka akan mengantarkan kita kepada hasil yang kadang di luar dugaan kita. Agak gak nyambung ya? Atau analisis saya aja nih yang terlalu kejauhan? Tak apalah, maklumi saja *maksa.

Pisang goreng saja bisa mengukir bahagia, apalagi kalau kamu yang berisyarat bilang ingin kolak pisang.. #eh J

BerBeda..


Dia kini berbeda,
Dulu ketika ia merajuk : ikut mbak …
Lalu kujawab sambil tersenyum : ke alam mimpi yah, mau kan?
Ia jawab dengan anggukan dan kudekap ia dalam pelukan hingga ia terlelap sungguh.
Dulu ia mau saja..

Dia kini berbeda,
Kini ketika ia merajuk : ikut mbak …
Lalu kujawab sambil tersenyum : ke alam mimpi yah, mau kan?
Dengan keras ia menolak, merengek dan meraung berkata tidak mau..

Sudah semengertikah engkau Nak?
Apakah mimpi tak lagi memuaskanmu?
Sedang kakakmu kini sedang terlelap mimpi..

~ramadhan ke Sembilan