Ramadhan
berjalan delapan hari ini dan saya masih gagal berkawan dengan dapur.
Entah ada-ada
saja alasan seperti badan yang hampir dua minggu ini ngedrop lah, sok sibuk
bermain dengan anak-anak TPA lah, ikut buber disana sinilah, sehingga saya
hanya berhasil dalam eksekusinya saja (makan) tanpa perlu ikut berharum-harum
dengan ibu di dapur.
Sungguh
saya ingin seperti Ibu J beliau tidak pernah kenal lelah, batuknya saja yang tak kalah
keras denganku, tak menyurutkannya dalam menyiapkan bekal ifthar bergizi untuk
kami sekeluarga.
Tidak pernah
ada keluh dari lidah beliau, hanya memang ketika malam menjelang, ibu berlekas
istirahat, fisik memang tak pernah bisa menyembunyikan yang beliau rasa.
Namun peristiwa
sahur itu, ibu seperti biasa mempersiapkan sahur sambil bercerita riang. Kala itu
Ibu sedang menata pisang goreng, sisa hidangan ifthar, Ibu ngendika dengan
tersenyum : “Bapakmu bilang, pisang goreng Ibu enak banget.” Hehehe, seketika
saya ikut tersipu, turut mencicipi kebahagiaan Ibu.
Sederhana
memang, namun Ibu merasakannya seperti kebahagiaan yang berlipat lipat dan
memekarkan semangat baru beliau untuk menyiapkan hidangan terbaik. Bukan, bukan
sekedar pujian itu yang membuat beliau terlihat bahagia, menurutku, karena toh Ibu
tak pernah berharap dipuji. Bukankah ketulusan
Ibu tak bisa lagi kita pungkiri.
Dari kisah
sepiring pisang goreng ini pun mengajarkan sesuatu hal bagi saya : hal
sesederhana apapun itu ketika kita lakukan dengan sepenuh hati maka akan
mengantarkan kita kepada hasil yang kadang di luar dugaan kita. Agak gak
nyambung ya? Atau analisis saya aja nih yang terlalu kejauhan? Tak apalah, maklumi
saja *maksa.
Pisang goreng
saja bisa mengukir bahagia, apalagi kalau kamu yang berisyarat bilang ingin
kolak pisang.. #eh J