Senin, 29 Oktober 2012

seloketep #1

karena tulisan belum jadi-jadi..maka diputuskan membagi potret kisah perjalanannya dulu saja :D


ini bekal kita memulai petualangan #printout googlemap -_-


dalam perjalanan ditemani mbak vega :D



pemandangan di sepanjang perjalanan, subhanaallah :)



Rabu, 24 Oktober 2012

kerendahan hati


kalau engkau tak mampu menjadi beringin yang tegak di puncak bukit
jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, yang tumbuh di tepi danau
kalau kamu tak sanggup menjadi belukar, jadilah saja rumput,
tetapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan

kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya, jadilah saja jalan kecil
tetapi jalan setapak yang membawa orang ke mata air

tidaklah semua menjadi kapten, tentu harus ada awak kapalnya
bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu
jadilah saja dirimu
sebaik baiknya dari dirimu sendiri

Taufiq Ismail

Selasa, 23 Oktober 2012

peristiwa kecil


Hari ini rasanya benar benar tertonjok oleh pernyataan seorang teman :D

Kenapa harus bertele-tele berucap jika pada dasarnya apa yang kita ucapkan pun kita belum mampu memaknai substansinya. Banyak hal yang masih mengganjal dalam benak saya ketika dihadapkan pada posisi sebagai seorang calon pendidik. Ganjalan itu berupa ketakutan yang teramat besar jika kehadiran saya sebagai sosok guru tidak mampu memberikan manfaat untuk anak – anak kelak.

Ketika awal saya memutuskan untuk ingin menjadi seorang guru, saat itu pikiran saya masih teramat dangkal. Angan-angan seorang manusia yang belum memasuki fase berpikir, mendorong saya terhadap “pemikiran dangkal” tentang seorang guru. Ketika itu yang terlintas adalah keuntungan semata bahwa ketika saya memilih jalan ini maka saya juga tidak akan meninggalkan tugas saya yang paling terpenting menjadi seorang madrasah utama bagi anak – anak saya kelak.

Namun saat ini semua terasa terbentur. Dalam perjalanannya, saya dipertemukan dengan teman – teman yang sangat membawa perubahan terhadap pola pikir saya selama ini. Ada kalanya mereka yang notabene bukan seorang mahasiswa kependidikan, tetapi passion dan kepedulian mereka terhadap dunia pendidikan membuat saya teramat iri. Mereka lebih semangat berinovasi dan memperkaya diri dengan keilmuan tentang dunia anak-anak.

Benarlah kiranya pesan seorang teman bahwa sesungguhnya ketika menjadi seorang pendidik itu adalah sebuah kecintaan yang teramat besar akan hidup itu sendiri. Bagaimana asyiknya menuntun anak merasakan sejuknya air wudhu, memperkenalkan mereka dengan gerakan sholat, mengeja kata demi kata agar menjadi untaian kalimat yang baik, dan banyak hal dahsyat lain.
~bersambung…


Minggu, 21 Oktober 2012

karena saat itu..



Hari ini semua ketakutan menjadi semakin nyata. Waktu memang menjadi alat penjawab terbaik atas segala resah yang selalu kita ributkan. Ketulusan yang dari awal dipertanyakan, semakin kentara sekarang. Tidak ada hal yang terjadi secara tiba-tiba bukan? Dan sekarang kehadiran menjadi sebuah alat untuk mengintimidasi apa yang menjadi keyakinan selama ini.

Sudah terlalu jauh, langkah kaki ini menapak. Sudah terlalu banyak pula pasir yang mengiris di sela jemari. Meninggalkan logika-logika yang tak lagi berjalan semestinya hanya karena atas nama sebuah pemberian yang seharusnya dijaga.

Life isn’t like a movie. Jelas. Ini lebih seru daripada sekedar duduk melihat para aktor bermain peran dan kita hanya menyumbangkan derai air mata atau sekedar ikut tersenyum melihat kebahagiaan semu yang tercipta. Tapi memang hidup ini menyimpan begitu banyak keindahan yang harus kita syukuri. Tak ada yang tahu dari setiap diri kita, akan memainkan jalan cerita yang seperti apa bukan? Apakah benar seperti sebuah drama yang penuh intrik atau seperti perasaan seorang cameo yang sedang bermain dalam sebuah film.

Sekarang atas nama ikatan dan keterlanjuran sebuah rasa, lalu meminta sebuah keniscayaan? Bodoh kalau diri mengikutinya. Ingin rasanya menertawakan diri, semua yang telah tertanam dengan pupuk kesabaran ternyata dicabut begitu saja tanpa peduli. Tak pernah ada rasa sesal pernah menitipkan sebuah kepercayaan kepada sang asing. Namun memang benar dan selalu benar bahwa menyandarkan sesuatu pada makhluk hanya akan menyisakan kecewa. Dan itulah yang terjadi, apa yang dilakukan selama ini hanyalah menabung dan meningkatkan peluang – peluang sebuah rasa, rasa yang berlawanan dengan kebahagiaan.

Tak ada kata sakit hati, dan semoga tak akan pernah. Karena diri belajar, bahwa setiap langkah adalah proses bukan hasil serta merta yang tiba – tiba menimpa. Telah banyak jalan yang ditempuh hingga kehidupan mengenal sebuah kosa kata baru bernama perpisahan.

Harusnya bimbang dijawab dengan kepercayaan, harusnya percaya dijawab dengan penjagaan.

Jangan pernah menyesal mengenal orang orang yang hadir di hidup kita, karena memang benar..kita harus mengenal orang yang belum tepat sebelum pada akhirnya kita menemukannya.

Percaya dan meyakini dengan penuh kesungguhan dan perwujudan, bahwa Allah akan memberikan hal– hal terbaik untuk hamba-Nya..walaupun seringkali sisi manusia kita mengatakan dan merasakan bahwa ini perih, itu sakit, dan yang lain nestapa.

Hei, matahari masih menunggumu dan menyambutmu dengan penuh kelembutan, mengajarkan bahwa hidupmu harus seterang sinar dan pengabdiannya sebagai makhluk.

Hei, rembulan masih menantimu dan melelapkan sesalmu hingga kau terbangun dalam sebuah pembaharuan.

Hei, kawan kawan masih mengharap kehadiranmu di antara mereka, untuk saling melihat sebagai kaca, lalu memantul cahayanya menembus batas diri di dalam jiwa.

“aku bersyukur mengenalmu, mengenalnya, dan mengenal mereka..karena melalui pertemuan singkat ini aku semakin mengenal siapa sebenarnya aku. Terima kasih telah memposisikan diriku sebagai seorang yang pernah hadir di sekelumit perjalanan hidup kalian.” 

Kamis, 18 Oktober 2012

jatuh gerimis


Apapun fakta yang terjadi, tidak lebih penting dari sikap kita dalam menghadapinya.
Apapun kerikil kehidupan yang menanti, tak lebih penting dari mental kita dalam menyikapi.
Ujian ringan, ujian sedang, ujian berat..semua itu relatif.
Entah, saya merasa kurang sependapat ketika ada perkataan “itu mah, belum seberapa. Gitu aja uda heboh banget reaksinya”…hmm, hei, pemahaman masing masing dari diri kita berbeda..apa yang terasa berat oleh kita, boleh saja itu semacam hal yang amat ringan untuk orang lain.
Setiap jalan yang kita lewati, setiap tikungan yang kita lalui, akan membentuk dan membangun batu pemahaman kita masing masing.
Hingga saat ini, saya masih mengagumi kekerasan goresan jalan jalan yang terlukis di setiap senyuman kawan kawan saya.
Mereka mengajarkan banyak hal yang tidak dapat saya catat dalam kata kata, namun apa yang mereka tanam, sungguh bersemi dalam kamus kehidupan.
Saya sungguh beruntung, garis takdirku dipertemukan Allah dengan pertalian berpelangi..
Gerimis itu indah, walau terkadang terasa menggigit gigit kulit ari..


Senin, 01 Oktober 2012

itu SENJA


  Senja kala itu mengabut. Menyisakan semerbak wangi rantaian bunga – bunga di tepi jalan. Entah mengapa itulah yang terlihat di pelupuk matanya. Ia sangat meyakini, bahwa tak ada yang kebetulan, semua terjadi dengan rahasia – rahasia kecil yang menyembunyikan keindahannya.

Sore itu ia terkesiap akan sebuah janji, berjanji untuk bersitatap dengan seorang asing. Ia tak bisa berpikir lagi, entah apa yang menuntunnya hingga ia melangkahkan kaki dalam perwujudan janji itu. Ia telah bersiap. Bersiap bahwa akan menahan dengan sepenuh hati mengerem laju detak jantungnya, menetralkan warna air mukanya, dan berlaku setenang helaian daun yang tertiup angin.

Hamparan ruang luas terasa sangat menghimpit rasanya. Terpaku dengan keyakinan dan ego yang saling berhantaman. Ia tak berani mengangkat pandangan. Terdiam menatap kosong rentetan huruf di depannya. “hei, kamu membaca atau mengalihkan saja? “,kata sang penanya.
Ia berteriak dalam diamnya..”apa tak kau lihat betapa kerasnya aku menyembunyikan. Tak kau bacakah itu dari gerakan tanganku yang tidak bisa tenang melakukan instruksi otakku.

Tak banyak yang ia dengar dari percakapan temaram itu. Telinganya tiba-tiba menjadi tak berfungsi, tak mampu menangkap ucapan yang berhamburan di udara. Sedangkan mulutnya tak berhenti tersenyum menyembunyikan perlisanan hati yang ingin melompat-lompat keluar dan menyapa ceria.

Ia aneh. Menunjukkan rasa hormatnya dengan tatapan lantai. “aku takut, kau menunduk terlalu dalam.” Tawa sang penanya kepadanya.
Aku menghormatimu, menghormati keberadaanmu, menghormati perasaanku, dan
menghormati apa yang tertulis atas kau dan aku suatu saat nanti.” Sekali lagi, ia hanya mampu menjawab dengan tundukan semakin lama.

Hanya ungkapan sebal yang akhirnya terlontar darinya. Bodoh. Kamu pura-pura membodohi dirimu sendiri, atau memang benar-benar bodoh?

Hari itu, ia berjalan sejajar, tak berdampingan.
Sejajar.
Bukan di depan sebagai penunjuk jalan dan bukan di belakang sebagai bayangan.
Ia tak ingin merasa terjebak, karena ini bukan jebakan yang mengada-ada.
Ada letupan-letupan api. 







Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu