Sang Penggali hanya mengerti satu kata..”gali, gali, dan teruslah gali…” karena ketika ia mulai berhenti dari adatnya, ia mulai kehilangan arah.
Kali ini saya hanya ingin bercerita tentang satu hal. Satu
kegiatan yang sudah saya lakukan dua kali dari tiga kali perjalanan. Simple
sih. Mungkin tidak penting untuk yang lain. Tapi biarlah, saya hanya ingin
mengurai apa yang menyumbat di otak saya dan belajar menuangkannya. Bahaya kan
kalo sampai otak saya kebanjiran karena banyak sumbatan? #eh.
Di rumah, sedang sibuk sibuknya upaya pemindahan “gunung
pasir” di halaman belakang. Yah, gundukan pasir yang dulunya diangkut 1 truk
pasir itu terpaksa harus dipindahkan dari tempat semula karena mulai
menggerogoti pintu halaman belakang *tempat awalnya pasir itu mangkal*. Ayah,
sang pemberi mandat, mengeluarkan surat perintah untuk mulai memindahkan per
januari 2013. #mulai ngaco. Alhasil, sebagai keluarga penganut aliran “ayahku
paling ganteng” alias ayah sebagai sosok laki laki sendirian di keluarga *cewek
semua ini anggotanya*, keberuntunganlah bagi saya untuk berkesempatan
mengerjakan “pekerjaan laki laki” itu secara cuma cuma. :D (baca: gali pasir,
angkut pasir). Tapi jangan salah, ternyata pekerjaan ini asyik banget. Haha.
Sambil menggali dan mengangkut butiran pasir pasir itu, saya
secara naluri kejahilan saya, mulai mengajukan pertanyaan pertanyaan konyol di
benak saya. Dari mulai yang ga penting sampai yang menurut saya lumayan
penting. Hehe.
Terbersit di antara kelelahan itu untuk mencoba
mempraktekkan pangendikan Guru Olahraga sewaktu SMA. Pak Raharjo. Beliau pernah
ngendika, “ketika kamu merasa lelah, maka itu bukanlah waktu untukmu
beristirahat. Tapi itulah waktu untuk melawan dan berkawan dengan rasa lelahmu,
hingga kamu tahu sejauh mana batas ketidakmampuanmu.” Saat itu saya mencoba
menghubung-hubungkannya dengan aktivitas gali-angkut lalu dengan aktivitas
proyek setengah tahun saya *mahakarya mahasiswa semester akhir -_-*.
Seringkali
ketika saya sudah merasa lelah, saya berdiam. Dan ternyata itulah yang
mematikan. Karena sang Penggali hanya mengerti satu kata..”gali, gali, dan
teruslah gali…” karena ketika ia mulai berhenti dari adatnya, ia mulai kehilangan
arah. Maka ketika berhenti bukan di titik potensial, hanya kebekuan yang
menampak.
Begitupun ketika memutuskan untuk memulai, bukankah
perjalanan besar selalu diawali dengan langkah kecil? Dan pada kenyataannya,
seperti sebuah kesepakatan bersama, kita semua sama sama tahu jika yang paling
berat adalah langkah awal. Namun ketika sudah mulai memberanikan diri untuk
memulai sebuah perjalanan dengan langkah kecil ini, kita pun tahu bahwa
ternyata segala sesuatu yang terjadi tidak semenakutkan dari apa yang telah
kita bayangkan. :D
Rasanya asyik bukan ketika kita mulai menemukan alur
perjalanan itu? Seperti kemudian semua pintu pintu kebuntuan sirna dan mengajak
kita untuk tak lelah berjalan. Bahkan jika perlu, berlari dengan senyum
kelegaan yang melapang. Ah, setiap perjalanan selalu membawa kita kepada kisah.
Kerikil bahkan perintang jalan juga akan selalu setia
menemani. Tapi kembali lagi, kita mau melihatnya sebagai hambatan atau
tantangan yang harus dinikmati? Seorang teman pernah menyemangati saya..”yang
penting jangan pernah berhenti”. Iya. Yang perlu dilakukan adalah menggali
kegigihan diri.
Sekarang hasilnya, tangan saya mulai perih mengapal. Dan
saya belum beranjak dari Bab II mahakarya saya. #lhoh.hehehe. dan yang paling
penting, jangan kebanyakan sok mikir seperti saya tadi yak, kerjakan dan hadapi
saja. Hahaha.
Oke, gundukan pasir itu masih menunggu saya untuk
direlokasi.
Dan bab II sudah mulai gatal karena tidak kunjung saya
sentuh.
Selamat bertemu lagi, dengan harapan gundukan pasir di tempat
baru dan proposal saya sudah terajukan. *aamiin* J
Harapan tak kan menjadi nyata ketika kamu hanya
menggantungkannya di angan dan tak pernah berupaya mewujudkannya.
Salam Semangat Solutif Selalu,
@annRidh ^o^