Sabtu, 26 Oktober 2013

63 #IbSin

Ini kehidupan saya selama hampir 63 hari ini. Mostly, saya bersama kehidupan baru saya ini kurang lebih 8 jam dalam sehari. Kenapa selalu diukur dengan data kuantitatif ya? Padahal mereka mulai bersemi di ladang hati saya kini. Dan tak terelakan lagi, saya menjadi kian bawel, galak, dan sok disiplin. Bagaimanapun itu, saya menyimpan rasa dan harapan untuk mereka, dan itu harus ditempuh dengan jalan yang tidak mudah. Maafkan saya teman teman IbSin, saya masih begitu kerdil untuk memahami begitu berharganya kalian.

Wahai Robbku, ilhamkanlah padaku untuk bersyukur atas nikmat-Mu yang telah Engkau karuniakan padaku juga pada orang tuaku. Dan ilhamkanlah padaku untuk melakukan amal sholeh yang Engkau ridhoi dan perbaikilah keturunanku (QS. Al Ahqof:15) 

Ini saat temen temen putri praktek membuat gunung berapi :)


Aksi temen temen putra


Puding Manis pemberian salah satu temen putri :)


Yang ini barengan sama temen temen putri sehabis olahraga :D





Kamis, 24 Oktober 2013

kecewa

Sudah berapa kali ya dalam semalam ini saya menelpon orang orang dan mengganggu mereka dengan keengganan? Kelimpungan bertanya dan mencari kejelasan atas suatu perkara yang lama tak tercium. Mungkin ini jawaban atas pertanyaan saya akhir-akhir ini. Atas apa yang saya rasa, tentang matinya jiwa perkara ini. Mungkin ini juga sebagai hembusan angin kencang atas sikap seletup api. Apakah ia akan mati padam seketika, atau malah kian berkobar-kobar membara. Ya, mungkin begitu.

Siapa pula di antara kita yang ingin menjadi pribadi yang suka mengeluh? Hampir tak ada saya kira. Bahkan orang yang paling mudah melontarkan keluhan pun bisa jadi ia juga tidak menginginkannya. Itu persepsi saya saat ini. Entah akan bertahan sampai kapan persepsi itu hidup.


Yang saya yakini saat ini adalah : kami sedang bertumbuh. Atas segala ketidaknyamanan ini : otak demam, kram tangan dan kaki, nyeri perut..itu belum seberapa. Tapi yang sungguh saya sayangkan, kenapa pernyataan ketidakmampuan yang keluar.  Maka maaf, saat ini saya di posisi itu. Ya, maaf. Kecewa.




*biar saya mengolahnya dalam semalam dan membuangnya di pagi hari.

Rabu, 23 Oktober 2013

Menulis Sajak Kecil tentang.....(merekam)

Menulis Cinta

“Kauminta aku menulis cinta
Aku tak tahu huruf apa yang pertama dan seterusnya
Kubolak-balik seluruh abjad
Kata-kata yang cacat yang kudapat

Jangan lagi minta aku menulis cinta
Huruf-hurufku, kau tahu,
Bahkan tak cukup untuk namamu

Sebab cinta adalah kau, yang tak mampu kusebut
Kecuali dengan denyut”


― 
Sitok SrengengeOn Nothing: Selected Poems





Sajak Kecil tentang Cinta

mencintai angin harus menjadi siut
mencintai air harus menjadi ricik
mencintai gunung harus menjadi terjal
mencintai api harus menjadi jilat
mencintai cakrawala harus menebas jarak
mencintaiMu harus menjelma aku


~SDD


Selasa, 22 Oktober 2013

kelahiran



Siang itu selepas mengantarkan anak-anak pulang kembali ke ibunya masing-masing, saya hanyut dalam duniaaforisma. Sebuah link blog yang dibagi oleh Mbak Far semalam, saya babat habis. Dengan menumpang fasilitas wifi tempat saya bekerja, saya mengakses rentetan kata kata itu. Diksi yang memukau membuat saya begitu asyik menikmatinya. 

Mungkin karena sang pemilik blog juga menulisnya dengan segenap perasaannya. J Dan…yah, tak terasa sudah jam 1 p.m. saya harus segera mengakhiri sementara petualangan imajinasi ini untuk menunaikan janji yang lain. Maka bergegaslah saya beres-beres dan turun menuju tempat parkiran dan pulang!

Sesaat tiba di lantai satu, ada seruan memanggil nama saya. Oh, seorang senior guru rupanya. Beliau menyebutkan nama salah satu Rumah Sakit lalu bertanya apakah saya akan pergi ke sana. Saya hanya mampu bertanya balik, “memang siapa yang sakit”. Ternyata Bu Korjen (Koordinator Jenjang saya yang sudah cuti seminggu ini karena sedang hamil tua)  melahirkan hari ini. Niat untuk pulang pun saya urungkan. Ikut berbahagia itu lebih utama, haha.

Singkatnya, saya bersama senior guru tiba di kamar inap Bu Korjen. Terlihat wajah Bu Korjen yang masih lemas namun gurat kebahagiaannya terlihat jelas menghias.  Para ibu-ibu senior guru riuh mengobrol. Bercerita tentang pengalaman masing-masing ketika melahirkan dulu. Ah, menyenangkan sekali mendengarnya. Saya tak sadar bagaimana ekspresi saya hingga ada seorang senior guru yang lain menegur dan tertawa melihat saya. 

Saya terlihat cengoh ternyata -____-

Bagaimana saya tidak terbengong-bengong? Saya selalu begitu kalau rasa kagum membalut hati *aih. Saya menikmati cerita-cerita kehebohan mereka. Tentang bagaimana sakitnya dipacu, ketika bayi yang rasanya sudah ingin melihat dunia tapi pembukaan tak kian bertambah, tentang perasaan terbayang-bayang wajah ibu masing-masing…. Merinding. Sungguh. Subhanallaah.

Obrolan kian panjang dan waktu merambat di angka 1.30 p.m, saatnya pamit.


Ah, selalu ada banyak yang datang..ia bernama kelahiran.



Senin, 21 Oktober 2013

Suatu malam di hari sabtu

Ia mengenalnya dengan begitu saja. Mengalir tanpa perencanaan. Seorang yang baru dan hadir dalam kehidupannya setahun ini. Adik, sebuah kesepakatan awal pemanggilan sebuah nama untuk orang itu. Huruf terakhir pertama yang hadir.

Malam ini sabtu jua, tapi hujan membasahinya.. dan ia hanya ingin mengenang sepotong kisah, tanpa destinasi tertentu..

Malam itu ia seperti baru benar-benar mengenal sosok si adik, setelah berbulan-bulan terseok mengeja deras alur pemikiran si adik. Awalnya ia mengenalnya sebagai seorang yang amat sederhana, terlihat begitu kekanakan, dan cuek dengan segala. Seiring merambatnya bulan, persepsi itu gugur bersama jatuhnya daun-daun yang coklat di sepanjang kampus mereka.

Dalam. Pertukaran pesan yang intens membuatnya belajar banyak. Si adik memperkenalkannya dengan warna baru dalam kehidupan ini dengan caranya. Sering si adik mencelanya ‘habis-habisan’ karena kebodohan kebodohan yang ia perbuat. Ia tahu, itu hanya cara si adik untuk memberi pemahaman baru atas apa yang ia alami. Tidak kurang. Tidak juga berlebih. Oleh karena itu, ia sangat bersyukur bisa merasakan kenyamanan 
dengan celotehan si adik.



“Maaf ya dek, kakakmu yang bodoh ini..
 tak selalu mampu menerjemahkan kosa katamu.”

Seperti seminggu ini, kala ia hanya mendiamkan si adik tanpa kesal. Bukan karena kesalahan, hanya sebab ketakutan yang tiba-tiba membayangi diri.

Di malam hari Sabtu ini, hanya pesan yang mampu terkirim….

“ini seharusnya purnama sempurna bukan…
tapi ia sembunyi di sunyi yang paling tepi pada selendang langit.
Lihatlah untaian doa ibu terburai menetes membasahi tanahmu.
Do’akan, do’akan, do’akan.”



*19 oktober 2013

kerat Pancer

Pada pantai aku terdiam,

melukis segurat demi segurat masa yang bernama kenangan..

Pada pasir aku bermain dalam lamunan,

membangun istana yang kokoh dan sejuk..

Dan pada bentang langit aku menengadah,

adakah doaku ini keinginan semata..?



*Pacitan, 14 Agustus 2013


Sabtu, 19 Oktober 2013

memang

“Perlu kesabaran tingkat dewa ketika serius dibilang nyampah, romantis dibilang galau, berpendapat dibilang curhat”

~SujiwoTedjo

Jumat, 18 Oktober 2013

Saalgirah Mubarak! yeeaaah

Tak ada lilin malam ini, sayang..
Namun senyummu seterang bulan hampir bulat menelanku J

Ah, tak tahu mau menulis puisi atau semacam tulisan kacau ala rembulan biru.
Tapi yang pasti, aku ingin kali ini hanya untukmu. Meski terpatah – patah, tak apa kan..

Aku akan menyebutmu sayang, bolehkah? Tentu saja boleh, kau kan yang bilang : “apa sih yang enggak buatmu? “

Please, jangan buru-buru merasa mual, karena hampir semua panggilan pahit pernah kita lontarkan, dan kurasa aku sudah kehabisan kosa kata untuk memanggilmu dengan syahdu. Sebab kau sungguh lebih berharga dari semua kosa kata itu!

Aku mengenalmu hampir tiga tahun ini. Masih terlalu singkat ya rupanya, tapi kau hebat..hampir tiap inci hatiku telah kau eja utuh. Menyusup cermat hingga palung yang tak seorang pun mampu memahaminya dengan tepat.

Kita gila, aku tahu itu. Kita bodoh, pasti akan selalu begitu. Kita cantik, hanya kita yang merasa begitu *tak seorang pun yang tau (hahaha). Kita saling mencintai, itu harapku.

Senja hari itu kau tampak begitu riang, sayang. Aku berceloteh tentang rembulan dan kau melepas anak panah itu : “Ini hari Specialku”, ujarmu malu-malu. Seperti tersengat listrik mendengarnya. Begitu bodohnya aku terlupa hari itu. Hari ke 23mu di dunia ini. Ah, kekasih macam apa aku ini. Walau aku tahu kau bukan penganut aliran “hepi besdei syalala”, hari itu tetap begitu special kan sayang. Bukan hanya untukmu, tapi juga untuk kami yang mencintaimu.

Maaf, tak ada acara tiup lilin di malam itu. Tak ada kue mungil berselimut coklat yang sangat jarang kita makan. Tak ada ceremonial romantis yang sering kita idamkan. Tak ada kado berbalut pita cantik untukmu. Tak ada semua itu. Bahkan tak ada ‘ucapan’ yang sempat kuukir untukmu. Kau hanya ‘meminta’ku mengajakmu melakukan ritual kita, jalan jalan malam.

Kau tau sayang? Malam itu adalah salah satu malam miskinku di tengah bulan ini. Hahaha. Hanya tinggal 7000 perak yang tersisa di dompetku, ditambah bensin yang di bawah ambang batas kemotoran :P. Kemudian 2000nya kutukar dengan seplastik kopi dingin favorit kita *aih. Sempurna sudah tersisa selembar lima ribuan. Tidak terlalu parah memang, karena kita telah terbiasa melalui hari hari miskin lain dengan lebih tragis. Tapi ini hari spesialmu, sayang… Aku mati ide dan modal ingin menghadiahimu apa. Kekayaan memang tak mampu mengekspresikan rasa kita mameen. :D

Pelataran ISI menjadi tempat pilihanku. Meski kau tak terlalu suka keramaian, kau menerima saja kuajak duduk di sana. Aku, aku dan aku. Itulah dominasi percakapan kita malam itu.  Maafkan aku, aku terlalu menjajah hari spesialmu.

Setelah hampir seluruh ceritaku terburai, ada seorang lelaki membawa gitar mendekat. Ia meminta ijin dengan sopan lalu melantunkan sebuah lagu di depan kita. Lagu yang asing, tapi kita menikmatinya. Kau tertawa lepas sambil menggenggam jemariku. Aku bersyukur, Tuhan menghadirkan hadiah kecil itu dengan kejutan yang tak pernah terduga.

Maafkan aku sayang, aku tak mampu membalas pemberianmu.

Di hari spesialmu ini pun aku tak berucap apa-apa, maaf karena malam itu aku hanya dapat membalas genggamanmu sambil lamat-lamat ikut bernyanyi bersama alunan gitar itu…

“semoga Tuhan melindungi kamu, dapat tercapai semua angan dan cita-citamu..
Mudah mudahan diberi umur panjang, sehat selama lamanya…”


Terima kasih,
Bahkan di hari spesialmu pun..kau menjadikanku ikut merasa special karenamu..
Terima kasih,
Darimu aku belajar, bukan tentang seberapa besar orang mampu memahami kita tapi bagaimana kita lah yang seharusnya berusaha memahami mereka..

Nailu Rukhma, aku tahu cinta tak selalu hadir di antara kita dengan cantik, pun tak selalu hadir dengan raga nestapa, tapi cinta tetap ada (insyaAllah) meski seluruh tingkah bodohku selalu mengganggu hidupmu ;)

Setidaknya engkau kuantar pulang malam itu dengan hatimu yang sedikit berbunga bukan? Hihi.
Maaf aku belum bisa berbuat lebih dan malah menyisakan hutang seribu perak.

Sayangku…
Doaku tersembunyi dalam sunyi untukmu.

Memandangimu saat senja
Berjalan di batas dua dunia
Tiada yang lebih indah
Tiada yang lebih rindu
Selain hatiku
Andai engkau tahu

Di pantai itu kau tampak sendiri
Tak ada jejakku di sisimu
Namun saat kau rasa
Pasir yang kau pijak pergi akulah lautan
Memeluk pantaimu erat

Jingga di bahumu
Malam di depanmu
Dan bulan siaga sinari langkahmu
Teruslah berjalan
Teruslah melangkah
Ku tahu kau tahu aku ada



*Atas Nama ciNta, 17 Oktober 2013 11.15 pm