Selasa, 26 November 2013

aku kamu kita

Nabi bersabda, “Ruh ruh adalah seperti layaknya tentara perang yang disiagakan, maka apabila saling mengenal (saling pengertian dengannya) akan terjalin sebuah hubungan yang harmonis (kekompakan), sedang apabila saling mengingkari maka akan tercerai berai.”

HR. Bukhari-Muslim

Jumat, 22 November 2013

abu #part 2

Saya   : “Ufo, punya temen yang tau trek Merbabu kagak…?”, 
Ufo    : “emang kenapa mbak…?”
Saya   : “Jadi begini, bla..bla..bla… Gimane?”
Ufo    : “…....”

Percakapan singkat senja itu menelurkan keputusan : Oke, kita ke Merbabu. Bismillah J

Horaaai, perasaan seneng, ragu sekaligus khawatir menyatu saat itu. Seneng karena pada akhirnya berhasil mengambil keputusan, ragu dan khawatir karena belum ada persiapan apa pun. Kami bersepakat naik tanggal 9-10 November,biidznillah, berarti detik itu sudah H-4! Beeh, tim belum fix, perkap apalagi.

Mulai dari memastikan tim yang akan berangkat siapa saja. PR buat saya adalah memastikan teman teman saya dari sisa tim awal. Mas Andre fix ikut, Angga fix belum jadi ikut, nah..berarti tinggal Pak Faridl. Segeralah saya mensyen, dan ternyata memang belum rejekinya silaturahim L..Pak Faridl ga dapet tiket untuk pulang saat itu *secara kuliah di Surabaya dan harus balik kalo jadi ikut*. Tinggallah saya dan mas Andre yang tersisa untuk kekeuh ikut..huhu. Selebihnya, tugas si Ufo menghimpun temen-temennya. Terkumpullah 7 orang dengan susah payah *haha, yang ini lebay* : mas Andre, Ufo, Olly, Airin, Asif, Riddo, dan saya! Dan H-1 bergabunglah Ipki menggenapi tim kami. Alhamdulillaah.

Persiapan perkap juga ga kalah kalang kabuut, serba dadakan ngepet pinjem perkap sanah sinih, hahaha. Mau say thanks dulu ah buat mbak Far ma Meri ;) yang rela saya repotin dan dikejar2 buat acara ini, hehe.

Satu lageee, persiapan fisik! Nah, untuk yang ini saya cuma sempet jogging sore doank muterin rektorat kampus, huhu. Pokoknya ngejar banget tuh selama 3 hari maksain waktu buat jogging. Hehe. Bukan kenapa kenapa sih, tapi saya takut aja misal entar ngrepotin temen2 di sana misal fisik saya ga cukup prima untuk pendakian.


>> Hari H..9-10 November..

Alhamdulillaah, jadi juga kami mewujudkan rencana nekat dan mepet ini. Berbekal niat dan upaya yang dioptimalkan, kami berangkat jua. Memilih jalur pendakian via Selo, petualangan penuh peluh dan pasir kami lalui *apelah. Tentang perjalanan ini, saya terlalu beku menuliskannya. Semuanya lekat di pikiran dan menjelma menjadi kenangan sekaligus pembelajaran berharga untuk saya. Maaf, saya belum mampu menguraikannya *nahan nangiis*.

Untuk teman teman yang dengan kerelaan hatinya (semoga J) mau mendaki bersama saya : Mas Andre, Ufo, Olly, Airin, Asif, Riddo, Ipki…saya ucapkan Jazaakumullah Khoyron *beneran ini terharunya, J*

Untuk dek Angga dan Pak Faridl : Oooiiii, semoga ada kesempatan yang lebih baik untuk kembali melanjutkan rencana pendakian lainnya. I’m waiting for it :P



Dan lagi lagi saya teringat sajak kecil ini…

mencintai angin harus menjadi siut  mencintai air harus menjadi ricik mencintai gunung harus menjadi terjal mencintai api harus menjadi jilat mencintai cakrawala harus menebas jarak mencintaiMU (Rabbku)  harus menjelma aku
 
dapat bekal peta ini nih dari basecamp
Selamat Meendakiiiii ^^
ngecamp di Pos IV
jadi semacam siluet yaa..
ada yang tahu, bunga apa ini...?

Sunrise dari Pos IV, hanya berlangsung beberapa menit dan seketika tertutup kabut
semacam negeri di awan...wuuush, subhanallah :3
subhanallah banget euy, sabanna..na..na..na..



masih jauh enggaa.....?

Kamis, 21 November 2013

Merb #part 1

Saya ingin pelan pelan saja menulis kisah ini. Seperti semburat jingga yang perlahan hilang dari kaki bukit ketika kisah ini kita putuskan untuk bermula.

Berhubung saya suka hal-hal detail, maap yak kalo bertele tele  :D*ah, biarin ah…

~P.e.R.s.i.A.p.a.n

#October, 2013

Kayaknya sih bulan itu…saya agak lupa-lupa ingat gitu kapan tepatnya rencana ini berawal. Diawali dengan postingan salah satu adik kelas semasa SMA tentang pendakian, sebut saja namanya Angga *nama tidak disamarkan, haha* Usut punya usut, ternyata dia beserta teman-temannya berencana hendak menjejakkan langkah di Merapi awal November, otomatis lah seketika dengan mata berbinar saya komeng ingin ikut…tapi yaa, apa daya ternyata tanggal pendakian bentrok dengan tanggal pelaksanaan tugas negara *aih, walhasil saya mengurungkan diri belum jadi ikut.

Kemudian kemurungan saya masih berlanjut di kicauan kicauan ringan*memang lebay :D*..dan Angga pun menawarkan sebuah ajakan paling kece kala itu : naek Merbabu! Seketika saya bersemangat kembali. Kicauan kami di jejaring social ternyata menyeret minat teman lain untuk ikut mendaki, sebut saja Pak Faridl *nama juga tidak disamarkan, aaaak* Ya sudah, bertambah lah kebahagiaan kala itu sejalan bertambahnya teman ndaki, hitung hitung sekaligus ajang silaturahim, berhubung kami bertiga selama bertahun tahun cukup berkomunikasi lewat dunia maya, haha. Kan keren tuh ya, kopdarnya di jalur Merbabu :P *sambil bayangin potongan film 5 cm, heuheu*

Ohya, saat itu saya juga berinisiatif mengajak teman kuliah saya yang memang sejak dulu nyidam pengen ndaki. Akhirnya saya mengajak mas Andre dan dia dengan senang hati menyanggupi untuk ikut. Baiklah, ada empat orang di tim awal ini..tinggal ngajak temen temen perempuannya, begitu batin saya kala itu.

Oke, pertengahan November menjadi kesepakatan awal kami kala itu untuk bersiap menuju Merbabu.


#November, 2013
>>Pekan Pertama,,

Siang itu saya sengaja mensyen nama mereka berdua, memanggil sekaligus mengkonfirmasi ulang kepastian rencana pendakian ini. Yah, niatnya mau sekalian mbahas tanggal naiknya juga sih karena belum dapet waktu fix-nya.
Sore hari, Pak Faridl membalas. Intinya, ia akan mengusahakan untuk ikut di tengah kesibukannya yang padat merayap *saya berasa jadi pencuri waktu, hha*. Oke oke, lalu kami menunggu balasan dari Angga. Sehari, dua hari,,dan saya lupa itu kapannya, akhirnya Angga membalas juga dan…

Taraaaaanggg…. dengan berbagai pertimbangan dan prioritas kepentingan, ternyata dia belum jadi ikut membersamai rencana ini. Sempet panik juga sih, secara yang tau treknya itu ya Angga..huhu. Hampir putus asa juga mau melanjutkan rencana ini atau tidak.

Sambil menimbang-nimbang, saya melayangkan pesan singkat ke mas Andre : beneran yakin mau ke Merbabu atau tidak. Dan jawabannya bikin nyesek *apelah. Mas Andre bilang kalau dia sudah persiapan fisik lari 6 km tiap hari. Dhuaar banget, ternyata mas Andre emang niat bener mau ndaki, hiks. Apa mau dikata, mau ga mau saya katakan kondisi yang sebenarnya terjadi. Dan ternyata tidak mematahkan arang semangat mas Andre untuk tetap ke Merbabu.  Okeoke, saya rada tenang hati, haha.

>>Selasa, 5 Nov’13
Saat maen ke tempat adik tingkat, “bip..bip…” ada sms masuk.
Oh, mas Andre. Beberapa detik memahami, emmmm… emmm… emmm… Lawu? Saya tersenyum getir saat itu. Mas Andre menawarkan untuk putar haluan, tidak jadi ke Merbabu tapi ke Lawu karena memang masing masing dari kami masih sangat asing dan tidak paham jalur Merbabu.

Saya putar otak. Ting! Ini adik tingkat kan pernah ke Sindoro, kira kira dia punya teman yang tau trek Merbabu ga yaa..oke, kemudian saya bertanya pada adik tingkat ini, sebut saja namanya Ufo, huahaha maap yang ini nama beken :D

Saya   : “Ufo, punya temen yang tau trek Merbabu kagak…?”,
Ufo    : “emang kenapa mbak…?”
Saya   : “Jadi begini, bla..bla..bla…(saya cerita kayak yang di atas, hehe). Gimane?”
Ufo    : “…....”


*bersambung nih yee


Sabtu, 26 Oktober 2013

63 #IbSin

Ini kehidupan saya selama hampir 63 hari ini. Mostly, saya bersama kehidupan baru saya ini kurang lebih 8 jam dalam sehari. Kenapa selalu diukur dengan data kuantitatif ya? Padahal mereka mulai bersemi di ladang hati saya kini. Dan tak terelakan lagi, saya menjadi kian bawel, galak, dan sok disiplin. Bagaimanapun itu, saya menyimpan rasa dan harapan untuk mereka, dan itu harus ditempuh dengan jalan yang tidak mudah. Maafkan saya teman teman IbSin, saya masih begitu kerdil untuk memahami begitu berharganya kalian.

Wahai Robbku, ilhamkanlah padaku untuk bersyukur atas nikmat-Mu yang telah Engkau karuniakan padaku juga pada orang tuaku. Dan ilhamkanlah padaku untuk melakukan amal sholeh yang Engkau ridhoi dan perbaikilah keturunanku (QS. Al Ahqof:15) 

Ini saat temen temen putri praktek membuat gunung berapi :)


Aksi temen temen putra


Puding Manis pemberian salah satu temen putri :)


Yang ini barengan sama temen temen putri sehabis olahraga :D





Kamis, 24 Oktober 2013

kecewa

Sudah berapa kali ya dalam semalam ini saya menelpon orang orang dan mengganggu mereka dengan keengganan? Kelimpungan bertanya dan mencari kejelasan atas suatu perkara yang lama tak tercium. Mungkin ini jawaban atas pertanyaan saya akhir-akhir ini. Atas apa yang saya rasa, tentang matinya jiwa perkara ini. Mungkin ini juga sebagai hembusan angin kencang atas sikap seletup api. Apakah ia akan mati padam seketika, atau malah kian berkobar-kobar membara. Ya, mungkin begitu.

Siapa pula di antara kita yang ingin menjadi pribadi yang suka mengeluh? Hampir tak ada saya kira. Bahkan orang yang paling mudah melontarkan keluhan pun bisa jadi ia juga tidak menginginkannya. Itu persepsi saya saat ini. Entah akan bertahan sampai kapan persepsi itu hidup.


Yang saya yakini saat ini adalah : kami sedang bertumbuh. Atas segala ketidaknyamanan ini : otak demam, kram tangan dan kaki, nyeri perut..itu belum seberapa. Tapi yang sungguh saya sayangkan, kenapa pernyataan ketidakmampuan yang keluar.  Maka maaf, saat ini saya di posisi itu. Ya, maaf. Kecewa.




*biar saya mengolahnya dalam semalam dan membuangnya di pagi hari.

Rabu, 23 Oktober 2013

Menulis Sajak Kecil tentang.....(merekam)

Menulis Cinta

“Kauminta aku menulis cinta
Aku tak tahu huruf apa yang pertama dan seterusnya
Kubolak-balik seluruh abjad
Kata-kata yang cacat yang kudapat

Jangan lagi minta aku menulis cinta
Huruf-hurufku, kau tahu,
Bahkan tak cukup untuk namamu

Sebab cinta adalah kau, yang tak mampu kusebut
Kecuali dengan denyut”


― 
Sitok SrengengeOn Nothing: Selected Poems





Sajak Kecil tentang Cinta

mencintai angin harus menjadi siut
mencintai air harus menjadi ricik
mencintai gunung harus menjadi terjal
mencintai api harus menjadi jilat
mencintai cakrawala harus menebas jarak
mencintaiMu harus menjelma aku


~SDD


Selasa, 22 Oktober 2013

kelahiran



Siang itu selepas mengantarkan anak-anak pulang kembali ke ibunya masing-masing, saya hanyut dalam duniaaforisma. Sebuah link blog yang dibagi oleh Mbak Far semalam, saya babat habis. Dengan menumpang fasilitas wifi tempat saya bekerja, saya mengakses rentetan kata kata itu. Diksi yang memukau membuat saya begitu asyik menikmatinya. 

Mungkin karena sang pemilik blog juga menulisnya dengan segenap perasaannya. J Dan…yah, tak terasa sudah jam 1 p.m. saya harus segera mengakhiri sementara petualangan imajinasi ini untuk menunaikan janji yang lain. Maka bergegaslah saya beres-beres dan turun menuju tempat parkiran dan pulang!

Sesaat tiba di lantai satu, ada seruan memanggil nama saya. Oh, seorang senior guru rupanya. Beliau menyebutkan nama salah satu Rumah Sakit lalu bertanya apakah saya akan pergi ke sana. Saya hanya mampu bertanya balik, “memang siapa yang sakit”. Ternyata Bu Korjen (Koordinator Jenjang saya yang sudah cuti seminggu ini karena sedang hamil tua)  melahirkan hari ini. Niat untuk pulang pun saya urungkan. Ikut berbahagia itu lebih utama, haha.

Singkatnya, saya bersama senior guru tiba di kamar inap Bu Korjen. Terlihat wajah Bu Korjen yang masih lemas namun gurat kebahagiaannya terlihat jelas menghias.  Para ibu-ibu senior guru riuh mengobrol. Bercerita tentang pengalaman masing-masing ketika melahirkan dulu. Ah, menyenangkan sekali mendengarnya. Saya tak sadar bagaimana ekspresi saya hingga ada seorang senior guru yang lain menegur dan tertawa melihat saya. 

Saya terlihat cengoh ternyata -____-

Bagaimana saya tidak terbengong-bengong? Saya selalu begitu kalau rasa kagum membalut hati *aih. Saya menikmati cerita-cerita kehebohan mereka. Tentang bagaimana sakitnya dipacu, ketika bayi yang rasanya sudah ingin melihat dunia tapi pembukaan tak kian bertambah, tentang perasaan terbayang-bayang wajah ibu masing-masing…. Merinding. Sungguh. Subhanallaah.

Obrolan kian panjang dan waktu merambat di angka 1.30 p.m, saatnya pamit.


Ah, selalu ada banyak yang datang..ia bernama kelahiran.



Senin, 21 Oktober 2013

Suatu malam di hari sabtu

Ia mengenalnya dengan begitu saja. Mengalir tanpa perencanaan. Seorang yang baru dan hadir dalam kehidupannya setahun ini. Adik, sebuah kesepakatan awal pemanggilan sebuah nama untuk orang itu. Huruf terakhir pertama yang hadir.

Malam ini sabtu jua, tapi hujan membasahinya.. dan ia hanya ingin mengenang sepotong kisah, tanpa destinasi tertentu..

Malam itu ia seperti baru benar-benar mengenal sosok si adik, setelah berbulan-bulan terseok mengeja deras alur pemikiran si adik. Awalnya ia mengenalnya sebagai seorang yang amat sederhana, terlihat begitu kekanakan, dan cuek dengan segala. Seiring merambatnya bulan, persepsi itu gugur bersama jatuhnya daun-daun yang coklat di sepanjang kampus mereka.

Dalam. Pertukaran pesan yang intens membuatnya belajar banyak. Si adik memperkenalkannya dengan warna baru dalam kehidupan ini dengan caranya. Sering si adik mencelanya ‘habis-habisan’ karena kebodohan kebodohan yang ia perbuat. Ia tahu, itu hanya cara si adik untuk memberi pemahaman baru atas apa yang ia alami. Tidak kurang. Tidak juga berlebih. Oleh karena itu, ia sangat bersyukur bisa merasakan kenyamanan 
dengan celotehan si adik.



“Maaf ya dek, kakakmu yang bodoh ini..
 tak selalu mampu menerjemahkan kosa katamu.”

Seperti seminggu ini, kala ia hanya mendiamkan si adik tanpa kesal. Bukan karena kesalahan, hanya sebab ketakutan yang tiba-tiba membayangi diri.

Di malam hari Sabtu ini, hanya pesan yang mampu terkirim….

“ini seharusnya purnama sempurna bukan…
tapi ia sembunyi di sunyi yang paling tepi pada selendang langit.
Lihatlah untaian doa ibu terburai menetes membasahi tanahmu.
Do’akan, do’akan, do’akan.”



*19 oktober 2013

kerat Pancer

Pada pantai aku terdiam,

melukis segurat demi segurat masa yang bernama kenangan..

Pada pasir aku bermain dalam lamunan,

membangun istana yang kokoh dan sejuk..

Dan pada bentang langit aku menengadah,

adakah doaku ini keinginan semata..?



*Pacitan, 14 Agustus 2013


Sabtu, 19 Oktober 2013

memang

“Perlu kesabaran tingkat dewa ketika serius dibilang nyampah, romantis dibilang galau, berpendapat dibilang curhat”

~SujiwoTedjo

Jumat, 18 Oktober 2013

Saalgirah Mubarak! yeeaaah

Tak ada lilin malam ini, sayang..
Namun senyummu seterang bulan hampir bulat menelanku J

Ah, tak tahu mau menulis puisi atau semacam tulisan kacau ala rembulan biru.
Tapi yang pasti, aku ingin kali ini hanya untukmu. Meski terpatah – patah, tak apa kan..

Aku akan menyebutmu sayang, bolehkah? Tentu saja boleh, kau kan yang bilang : “apa sih yang enggak buatmu? “

Please, jangan buru-buru merasa mual, karena hampir semua panggilan pahit pernah kita lontarkan, dan kurasa aku sudah kehabisan kosa kata untuk memanggilmu dengan syahdu. Sebab kau sungguh lebih berharga dari semua kosa kata itu!

Aku mengenalmu hampir tiga tahun ini. Masih terlalu singkat ya rupanya, tapi kau hebat..hampir tiap inci hatiku telah kau eja utuh. Menyusup cermat hingga palung yang tak seorang pun mampu memahaminya dengan tepat.

Kita gila, aku tahu itu. Kita bodoh, pasti akan selalu begitu. Kita cantik, hanya kita yang merasa begitu *tak seorang pun yang tau (hahaha). Kita saling mencintai, itu harapku.

Senja hari itu kau tampak begitu riang, sayang. Aku berceloteh tentang rembulan dan kau melepas anak panah itu : “Ini hari Specialku”, ujarmu malu-malu. Seperti tersengat listrik mendengarnya. Begitu bodohnya aku terlupa hari itu. Hari ke 23mu di dunia ini. Ah, kekasih macam apa aku ini. Walau aku tahu kau bukan penganut aliran “hepi besdei syalala”, hari itu tetap begitu special kan sayang. Bukan hanya untukmu, tapi juga untuk kami yang mencintaimu.

Maaf, tak ada acara tiup lilin di malam itu. Tak ada kue mungil berselimut coklat yang sangat jarang kita makan. Tak ada ceremonial romantis yang sering kita idamkan. Tak ada kado berbalut pita cantik untukmu. Tak ada semua itu. Bahkan tak ada ‘ucapan’ yang sempat kuukir untukmu. Kau hanya ‘meminta’ku mengajakmu melakukan ritual kita, jalan jalan malam.

Kau tau sayang? Malam itu adalah salah satu malam miskinku di tengah bulan ini. Hahaha. Hanya tinggal 7000 perak yang tersisa di dompetku, ditambah bensin yang di bawah ambang batas kemotoran :P. Kemudian 2000nya kutukar dengan seplastik kopi dingin favorit kita *aih. Sempurna sudah tersisa selembar lima ribuan. Tidak terlalu parah memang, karena kita telah terbiasa melalui hari hari miskin lain dengan lebih tragis. Tapi ini hari spesialmu, sayang… Aku mati ide dan modal ingin menghadiahimu apa. Kekayaan memang tak mampu mengekspresikan rasa kita mameen. :D

Pelataran ISI menjadi tempat pilihanku. Meski kau tak terlalu suka keramaian, kau menerima saja kuajak duduk di sana. Aku, aku dan aku. Itulah dominasi percakapan kita malam itu.  Maafkan aku, aku terlalu menjajah hari spesialmu.

Setelah hampir seluruh ceritaku terburai, ada seorang lelaki membawa gitar mendekat. Ia meminta ijin dengan sopan lalu melantunkan sebuah lagu di depan kita. Lagu yang asing, tapi kita menikmatinya. Kau tertawa lepas sambil menggenggam jemariku. Aku bersyukur, Tuhan menghadirkan hadiah kecil itu dengan kejutan yang tak pernah terduga.

Maafkan aku sayang, aku tak mampu membalas pemberianmu.

Di hari spesialmu ini pun aku tak berucap apa-apa, maaf karena malam itu aku hanya dapat membalas genggamanmu sambil lamat-lamat ikut bernyanyi bersama alunan gitar itu…

“semoga Tuhan melindungi kamu, dapat tercapai semua angan dan cita-citamu..
Mudah mudahan diberi umur panjang, sehat selama lamanya…”


Terima kasih,
Bahkan di hari spesialmu pun..kau menjadikanku ikut merasa special karenamu..
Terima kasih,
Darimu aku belajar, bukan tentang seberapa besar orang mampu memahami kita tapi bagaimana kita lah yang seharusnya berusaha memahami mereka..

Nailu Rukhma, aku tahu cinta tak selalu hadir di antara kita dengan cantik, pun tak selalu hadir dengan raga nestapa, tapi cinta tetap ada (insyaAllah) meski seluruh tingkah bodohku selalu mengganggu hidupmu ;)

Setidaknya engkau kuantar pulang malam itu dengan hatimu yang sedikit berbunga bukan? Hihi.
Maaf aku belum bisa berbuat lebih dan malah menyisakan hutang seribu perak.

Sayangku…
Doaku tersembunyi dalam sunyi untukmu.

Memandangimu saat senja
Berjalan di batas dua dunia
Tiada yang lebih indah
Tiada yang lebih rindu
Selain hatiku
Andai engkau tahu

Di pantai itu kau tampak sendiri
Tak ada jejakku di sisimu
Namun saat kau rasa
Pasir yang kau pijak pergi akulah lautan
Memeluk pantaimu erat

Jingga di bahumu
Malam di depanmu
Dan bulan siaga sinari langkahmu
Teruslah berjalan
Teruslah melangkah
Ku tahu kau tahu aku ada



*Atas Nama ciNta, 17 Oktober 2013 11.15 pm



Jumat, 20 September 2013

Tentang pelepasan…


Sedang memaksakan diri untuk menulis nih, keburu melupakan #eaa,
Bagaimana kalau bermula tentang prosesi satu ini? Taraaa……

“W.I.S.U.DA.”

Apa yang terlintas dalam benak ketika mendengar prosesi ini? Kalau saya nih, jujur, saya agak malas dalam prosesi panjang ini, hehe. Bukan kenapa-kenapa, tapi memang boros banget *nah lho*.

Alhamdulillaah awal September kemarin saya diberi kesempatan untuk merasakan dan mengikuti proses ini. Setelah proses birokrasi yang puanjaaaaaang, akhirnya saya bersama teman-teman seperjuangan saya merasakan memakai toga secara resmi. Semua keribetan sudah terasa jauh-jauh hari, atmosfer euphoria teman-teman dan keluarga untuk mempersiapkan segala sesuatu di salah satu “hari special “ pun terlihat agak berlebih *maap* .

Dari pengamatan saya, mereka yang paling santai adalah para kaum wisudawan lelaki, karena tak perlu modal berlebih dalam berwisuda ria ini. Beda lagi dengan mereka para kaum wanita yang mendadak perfectionis. Yang jelas, mulai dari ujung kaki *sepatu* sampai ujung kepala *jilbab, sanggulan rambut, blablabla* dipersiapkan dengan sedetail mungkin. Belum lagi sibuk membuatkan agenda untuk para insan terdekat dan tercinta *ehm* untuk mengosongkan segala agenda di hari itu demi menghadiri dan mendampingi sang wisudawan/wati.

Yaa..ga papa lah ya, kalau menurut Rektor saya saat pidato itu sih bagi yang berkesempatan mengenakan toga secara resmi seharusnya patut bersyukur, karena tidak setiap orang mendapat kesempatan untuk melewati tahapan ini dalam perjalanan hidupnya..dan seharusnya mereka yang telah meraih gelar sarjana *termasuk saya?* harus sadar diri berkontribusi dalam kemanfaatan umat #eaa, berat.

Tulisan ini tidak untuk mendeskritkan apakah prosesi ini memang baik atau tidak, apalagi merambah ke pelabelan bahwa yang telah berwisuda itu begini dan begitu daripada yang belum. Tidaaaak…bukan itu. Yang pasti, saya hanya mampu mengucapkan selamat..kepada siapapun yang mengambil makna terdalam akan adanya proses wisuda. Karena belum tentu yang ikut berwisuda menyadari apa yang sebenarnya mereka perjuangkan selama ini. Bukan hanya tentang prosesi ceremonial, atau euphoria sesaatnya saja. Karena ternyata banyak sekali orang-orang, kakak-kakak saya yang sangat menginspirasi tanpa perlu berwisuda.. :)


Yang jelas adalah saya bersedih atas pelepasan ini…




Senin, 19 Agustus 2013

tangan kanan


Aku punya seluruh data dan fakta itu. Ya, aku punya. Aku punya segalanya untuk membuatmu percaya, bahkan membuatmu terpaksa percaya. Tapi sayangnya aku tak pernah bisa melakukannya. Aku tak akan memaksakan jalan cerita bukan? Toh, ribuan fakta itu tak membuatmu turut percaya apa yang kulakukan. Matamu tak pernah bohong. Aku tahu itu.
***
Angin berhembus kencang saat kita terduduk di tepi telaga itu. Menatap kelopak kelopak angsana yang berguguran menyapu setapak. Kau tersenyum, penuh arti, setelah kau menceritakan segala hal yang menyesakkanmu selama ini. Aku mendengar dengan penuh seksama. Tak ingin sedikit pun kehilangan potongan kisahmu. Tak peduli aku mengerti atau tidak saat itu. Yang aku tahu, aku pasti akan memahaminya suatu saat nanti. Tanpa penjelasan berlebihan darimu, cukup merenungkan urutan katamu dengan jalan sang waktu. Aku ikut tersenyum saat itu.
Hampir setiap orang mungkin pernah berandai memiliki mesin waktu. Memutar waktu sesuka hati, meloncat ke tempo yang disukai dan menskip segala yang tak disukai. “Hapus saja semua kenangan buruk itu!” Seruku saat itu, gemas melihatmu berurai air mata. Berharap perkataan spontanku tadi bermutu bagimu. Aku selalu mendengar dan menyimpan segala ucapmu. Menganggapnya dengan begitu penting bahkan gurauanmu pun kucatat serius. Aku menganggapmu lebih dari orang yang sekedar melewati kehidupanku. Aku tahu, kau bagian dari kehidupanku itu sendiri.
***
Pagi itu aku membatu membaca rentetan tulisanmu di status jejaring sosial. Butuh beberapa menit mengusai diri, menata hati agar tidak gegabah menulis komentar atau bahkan status balasan yang memuat sindiran atas tulisanmu. Dua menit berlalu, aku hanya mampu tersenyum. Aneh sekali, demi apa aku repot memikirkan hal sepele ini. Kalau bukan demi kau, yang kuanggap bagian dari diriku sendiri.
Kau yang mengalir bersama aliran darah, memutuskan untuk tak lagi percaya padaku. Kau tak pernah mengatakannya secara gamblang tapi firasatku secara bebas menerjemahkannya demikian. Kau tak lagi melibatkanku dalam persoalan-persoalanmu, bahkan untuk hal paling sepele yang kau keluhkan. Seperti kala malam itu ketika kau mengeluh tak punya bulu mata pasangan untuk menghadiri pertemuan penting itu. Dan aku hanya terkekeh sebal mendengar kegalauanmu malam itu. Tak menyadari, hal seperti itulah yang sangat kurindukan saat ini.
Kau yang mendominasi kisah pencarian dewasaku, mulai bertingkah sepertiku. Diam tak menjelaskan sesuatu apa pun. Padahal kau paling suka menjelaskan hal yang paling tidak penting dengan begitu detail. Kau yang dulu begitu berbeda dariku, tapi kita selalu berharmoni menjalin kisah. Tapi kau kini begitu mirip denganku, dan entah karena sempitnya gumpalan darah di tubuhku ini atau begitu fakirnya aku memahami, aku memandangnya sebagai bentuk ketidaksukaanmu atas diriku.
Aku memutuskan untuk jatuh cinta dan lalu kau memutuskan untuk tak lagi percaya padaku.
Seribu bukti kan kubawa ke hadapanmu,  karena kau menyeretku ke pengadilan tak terlihat ini.
Aku tanpa pengacara akan mengajukan seribu alibi, asal satu : hatimu lapang berkenan mendengarnya.
Tapi nyatanya kau telah menjatuhkan hukuman atasku, mencabut habis kepercayaanmu, tanpa sedikitpun penjelasanku bergantung di udara. Kau menolak mendengarku, meski hanya tiga menit.
***
Aku tahu, kau adalah bagian dari kehidupanku itu sendiri, meski kini kau hidup di luar kehidupanku.
Lalu sayup sayup terdengar sebuah lagu……
“Sahabatku, usai tawa ini
Izinkan aku bercerita:
Telah jauh, ku mendaki
Sesak udara di atas puncak khayalan
Jangan sampai kau di sana
Telah jauh, ku terjatuh
Pedihnya luka di dasar jurang kecewa
Dan kini sampailah, aku di sini...
Sahabatku, bukan maksud hati membebani,
Tetapi...
Telah lama, kumenanti
Satu malam sunyi untuk kuakhiri
Dan usai tangis ini, aku kan berjanji...”



Kamis, 18 Juli 2013

balada Pisang Goreng


Ramadhan berjalan delapan hari ini dan saya masih gagal berkawan dengan dapur.

Entah ada-ada saja alasan seperti badan yang hampir dua minggu ini ngedrop lah, sok sibuk bermain dengan anak-anak TPA lah, ikut buber disana sinilah, sehingga saya hanya berhasil dalam eksekusinya saja (makan) tanpa perlu ikut berharum-harum dengan ibu di dapur.

Sungguh saya ingin seperti Ibu J beliau tidak pernah kenal lelah, batuknya saja yang tak kalah keras denganku, tak menyurutkannya dalam menyiapkan bekal ifthar bergizi untuk kami sekeluarga.

Tidak pernah ada keluh dari lidah beliau, hanya memang ketika malam menjelang, ibu berlekas istirahat, fisik memang tak pernah bisa menyembunyikan yang beliau rasa.

Namun peristiwa sahur itu, ibu seperti biasa mempersiapkan sahur sambil bercerita riang. Kala itu Ibu sedang menata pisang goreng, sisa hidangan ifthar, Ibu ngendika dengan tersenyum : “Bapakmu bilang, pisang goreng Ibu enak banget.” Hehehe, seketika saya ikut tersipu, turut mencicipi kebahagiaan Ibu.

Sederhana memang, namun Ibu merasakannya seperti kebahagiaan yang berlipat lipat dan memekarkan semangat baru beliau untuk menyiapkan hidangan terbaik. Bukan, bukan sekedar pujian itu yang membuat beliau terlihat bahagia, menurutku, karena toh Ibu tak pernah berharap dipuji.  Bukankah ketulusan Ibu tak bisa lagi kita pungkiri.

Dari kisah sepiring pisang goreng ini pun mengajarkan sesuatu hal bagi saya : hal sesederhana apapun itu ketika kita lakukan dengan sepenuh hati maka akan mengantarkan kita kepada hasil yang kadang di luar dugaan kita. Agak gak nyambung ya? Atau analisis saya aja nih yang terlalu kejauhan? Tak apalah, maklumi saja *maksa.

Pisang goreng saja bisa mengukir bahagia, apalagi kalau kamu yang berisyarat bilang ingin kolak pisang.. #eh J

BerBeda..


Dia kini berbeda,
Dulu ketika ia merajuk : ikut mbak …
Lalu kujawab sambil tersenyum : ke alam mimpi yah, mau kan?
Ia jawab dengan anggukan dan kudekap ia dalam pelukan hingga ia terlelap sungguh.
Dulu ia mau saja..

Dia kini berbeda,
Kini ketika ia merajuk : ikut mbak …
Lalu kujawab sambil tersenyum : ke alam mimpi yah, mau kan?
Dengan keras ia menolak, merengek dan meraung berkata tidak mau..

Sudah semengertikah engkau Nak?
Apakah mimpi tak lagi memuaskanmu?
Sedang kakakmu kini sedang terlelap mimpi..

~ramadhan ke Sembilan