Aku punya seluruh data dan fakta itu. Ya, aku punya. Aku
punya segalanya untuk membuatmu percaya, bahkan membuatmu terpaksa percaya.
Tapi sayangnya aku tak pernah bisa melakukannya. Aku tak akan memaksakan jalan
cerita bukan? Toh, ribuan fakta itu tak membuatmu turut percaya apa yang
kulakukan. Matamu tak pernah bohong. Aku tahu itu.
***
Angin berhembus kencang saat kita terduduk di tepi telaga
itu. Menatap kelopak kelopak angsana yang berguguran menyapu setapak. Kau
tersenyum, penuh arti, setelah kau menceritakan segala hal yang menyesakkanmu
selama ini. Aku mendengar dengan penuh seksama. Tak ingin sedikit pun
kehilangan potongan kisahmu. Tak peduli aku mengerti atau tidak saat itu. Yang
aku tahu, aku pasti akan memahaminya suatu saat nanti. Tanpa penjelasan
berlebihan darimu, cukup merenungkan urutan katamu dengan jalan sang waktu. Aku
ikut tersenyum saat itu.
Hampir setiap orang mungkin pernah berandai memiliki mesin
waktu. Memutar waktu sesuka hati, meloncat ke tempo yang disukai dan menskip
segala yang tak disukai. “Hapus saja semua kenangan buruk itu!” Seruku saat
itu, gemas melihatmu berurai air mata. Berharap perkataan spontanku tadi
bermutu bagimu. Aku selalu mendengar dan menyimpan segala ucapmu. Menganggapnya
dengan begitu penting bahkan gurauanmu pun kucatat serius. Aku menganggapmu
lebih dari orang yang sekedar melewati kehidupanku. Aku tahu, kau bagian dari
kehidupanku itu sendiri.
***
Pagi itu aku membatu membaca rentetan tulisanmu di status
jejaring sosial. Butuh beberapa menit mengusai diri, menata hati agar tidak
gegabah menulis komentar atau bahkan status balasan yang memuat sindiran atas
tulisanmu. Dua menit berlalu, aku hanya mampu tersenyum. Aneh sekali, demi apa
aku repot memikirkan hal sepele ini. Kalau bukan demi kau, yang kuanggap bagian
dari diriku sendiri.
Kau yang mengalir bersama aliran darah, memutuskan untuk tak
lagi percaya padaku. Kau tak pernah mengatakannya secara gamblang tapi
firasatku secara bebas menerjemahkannya demikian. Kau tak lagi melibatkanku
dalam persoalan-persoalanmu, bahkan untuk hal paling sepele yang kau keluhkan.
Seperti kala malam itu ketika kau mengeluh tak punya bulu mata pasangan untuk
menghadiri pertemuan penting itu. Dan aku hanya terkekeh sebal mendengar
kegalauanmu malam itu. Tak menyadari, hal seperti itulah yang sangat kurindukan
saat ini.
Kau yang mendominasi kisah pencarian dewasaku, mulai
bertingkah sepertiku. Diam tak menjelaskan sesuatu apa pun. Padahal kau paling
suka menjelaskan hal yang paling tidak penting dengan begitu detail. Kau yang
dulu begitu berbeda dariku, tapi kita selalu berharmoni menjalin kisah. Tapi
kau kini begitu mirip denganku, dan entah karena sempitnya gumpalan darah di
tubuhku ini atau begitu fakirnya aku memahami, aku memandangnya sebagai bentuk
ketidaksukaanmu atas diriku.
Aku memutuskan untuk jatuh cinta dan lalu kau memutuskan
untuk tak lagi percaya padaku.
Seribu bukti kan kubawa ke hadapanmu, karena kau menyeretku ke pengadilan tak
terlihat ini.
Aku tanpa pengacara akan mengajukan seribu alibi, asal satu
: hatimu lapang berkenan mendengarnya.
Tapi nyatanya kau telah menjatuhkan hukuman atasku, mencabut
habis kepercayaanmu, tanpa sedikitpun penjelasanku bergantung di udara. Kau
menolak mendengarku, meski hanya tiga menit.
***
Aku tahu, kau adalah bagian dari kehidupanku itu sendiri,
meski kini kau hidup di luar kehidupanku.
Lalu sayup sayup terdengar sebuah lagu……
“Sahabatku, usai tawa
ini
Izinkan aku
bercerita:
Telah jauh, ku
mendaki
Sesak udara di atas
puncak khayalan
Jangan sampai kau di
sana
Telah jauh, ku
terjatuh
Pedihnya luka di
dasar jurang kecewa
Dan kini sampailah,
aku di sini...
…
Sahabatku, bukan
maksud hati membebani,
Tetapi...
Telah lama, kumenanti
Satu malam sunyi
untuk kuakhiri
Dan usai tangis ini,
aku kan berjanji...”