Senin, 19 Agustus 2013

tangan kanan


Aku punya seluruh data dan fakta itu. Ya, aku punya. Aku punya segalanya untuk membuatmu percaya, bahkan membuatmu terpaksa percaya. Tapi sayangnya aku tak pernah bisa melakukannya. Aku tak akan memaksakan jalan cerita bukan? Toh, ribuan fakta itu tak membuatmu turut percaya apa yang kulakukan. Matamu tak pernah bohong. Aku tahu itu.
***
Angin berhembus kencang saat kita terduduk di tepi telaga itu. Menatap kelopak kelopak angsana yang berguguran menyapu setapak. Kau tersenyum, penuh arti, setelah kau menceritakan segala hal yang menyesakkanmu selama ini. Aku mendengar dengan penuh seksama. Tak ingin sedikit pun kehilangan potongan kisahmu. Tak peduli aku mengerti atau tidak saat itu. Yang aku tahu, aku pasti akan memahaminya suatu saat nanti. Tanpa penjelasan berlebihan darimu, cukup merenungkan urutan katamu dengan jalan sang waktu. Aku ikut tersenyum saat itu.
Hampir setiap orang mungkin pernah berandai memiliki mesin waktu. Memutar waktu sesuka hati, meloncat ke tempo yang disukai dan menskip segala yang tak disukai. “Hapus saja semua kenangan buruk itu!” Seruku saat itu, gemas melihatmu berurai air mata. Berharap perkataan spontanku tadi bermutu bagimu. Aku selalu mendengar dan menyimpan segala ucapmu. Menganggapnya dengan begitu penting bahkan gurauanmu pun kucatat serius. Aku menganggapmu lebih dari orang yang sekedar melewati kehidupanku. Aku tahu, kau bagian dari kehidupanku itu sendiri.
***
Pagi itu aku membatu membaca rentetan tulisanmu di status jejaring sosial. Butuh beberapa menit mengusai diri, menata hati agar tidak gegabah menulis komentar atau bahkan status balasan yang memuat sindiran atas tulisanmu. Dua menit berlalu, aku hanya mampu tersenyum. Aneh sekali, demi apa aku repot memikirkan hal sepele ini. Kalau bukan demi kau, yang kuanggap bagian dari diriku sendiri.
Kau yang mengalir bersama aliran darah, memutuskan untuk tak lagi percaya padaku. Kau tak pernah mengatakannya secara gamblang tapi firasatku secara bebas menerjemahkannya demikian. Kau tak lagi melibatkanku dalam persoalan-persoalanmu, bahkan untuk hal paling sepele yang kau keluhkan. Seperti kala malam itu ketika kau mengeluh tak punya bulu mata pasangan untuk menghadiri pertemuan penting itu. Dan aku hanya terkekeh sebal mendengar kegalauanmu malam itu. Tak menyadari, hal seperti itulah yang sangat kurindukan saat ini.
Kau yang mendominasi kisah pencarian dewasaku, mulai bertingkah sepertiku. Diam tak menjelaskan sesuatu apa pun. Padahal kau paling suka menjelaskan hal yang paling tidak penting dengan begitu detail. Kau yang dulu begitu berbeda dariku, tapi kita selalu berharmoni menjalin kisah. Tapi kau kini begitu mirip denganku, dan entah karena sempitnya gumpalan darah di tubuhku ini atau begitu fakirnya aku memahami, aku memandangnya sebagai bentuk ketidaksukaanmu atas diriku.
Aku memutuskan untuk jatuh cinta dan lalu kau memutuskan untuk tak lagi percaya padaku.
Seribu bukti kan kubawa ke hadapanmu,  karena kau menyeretku ke pengadilan tak terlihat ini.
Aku tanpa pengacara akan mengajukan seribu alibi, asal satu : hatimu lapang berkenan mendengarnya.
Tapi nyatanya kau telah menjatuhkan hukuman atasku, mencabut habis kepercayaanmu, tanpa sedikitpun penjelasanku bergantung di udara. Kau menolak mendengarku, meski hanya tiga menit.
***
Aku tahu, kau adalah bagian dari kehidupanku itu sendiri, meski kini kau hidup di luar kehidupanku.
Lalu sayup sayup terdengar sebuah lagu……
“Sahabatku, usai tawa ini
Izinkan aku bercerita:
Telah jauh, ku mendaki
Sesak udara di atas puncak khayalan
Jangan sampai kau di sana
Telah jauh, ku terjatuh
Pedihnya luka di dasar jurang kecewa
Dan kini sampailah, aku di sini...
Sahabatku, bukan maksud hati membebani,
Tetapi...
Telah lama, kumenanti
Satu malam sunyi untuk kuakhiri
Dan usai tangis ini, aku kan berjanji...”