Senin, 28 Januari 2013

galigaligali


Sang Penggali hanya mengerti satu kata..”gali, gali, dan teruslah gali…” karena ketika ia mulai berhenti dari adatnya, ia mulai kehilangan arah.


Kali ini saya hanya ingin bercerita tentang satu hal. Satu kegiatan yang sudah saya lakukan dua kali dari tiga kali perjalanan. Simple sih. Mungkin tidak penting untuk yang lain. Tapi biarlah, saya hanya ingin mengurai apa yang menyumbat di otak saya dan belajar menuangkannya. Bahaya kan kalo sampai otak saya kebanjiran karena banyak sumbatan? #eh.

Di rumah, sedang sibuk sibuknya upaya pemindahan “gunung pasir” di halaman belakang. Yah, gundukan pasir yang dulunya diangkut 1 truk pasir itu terpaksa harus dipindahkan dari tempat semula karena mulai menggerogoti pintu halaman belakang *tempat awalnya pasir itu mangkal*. Ayah, sang pemberi mandat, mengeluarkan surat perintah untuk mulai memindahkan per januari 2013. #mulai ngaco. Alhasil, sebagai keluarga penganut aliran “ayahku paling ganteng” alias ayah sebagai sosok laki laki sendirian di keluarga *cewek semua ini anggotanya*, keberuntunganlah bagi saya untuk berkesempatan mengerjakan “pekerjaan laki laki” itu secara cuma cuma. :D (baca: gali pasir, angkut pasir). Tapi jangan salah, ternyata pekerjaan ini asyik banget. Haha.

Sambil menggali dan mengangkut butiran pasir pasir itu, saya secara naluri kejahilan saya, mulai mengajukan pertanyaan pertanyaan konyol di benak saya. Dari mulai yang ga penting sampai yang menurut saya lumayan penting. Hehe.

Terbersit di antara kelelahan itu untuk mencoba mempraktekkan pangendikan Guru Olahraga sewaktu SMA. Pak Raharjo. Beliau pernah ngendika, “ketika kamu merasa lelah, maka itu bukanlah waktu untukmu beristirahat. Tapi itulah waktu untuk melawan dan berkawan dengan rasa lelahmu, hingga kamu tahu sejauh mana batas ketidakmampuanmu.” Saat itu saya mencoba menghubung-hubungkannya dengan aktivitas gali-angkut lalu dengan aktivitas proyek setengah tahun saya *mahakarya mahasiswa semester akhir -_-*. 

Seringkali ketika saya sudah merasa lelah, saya berdiam. Dan ternyata itulah yang mematikan. Karena sang Penggali hanya mengerti satu kata..”gali, gali, dan teruslah gali…” karena ketika ia mulai berhenti dari adatnya, ia mulai kehilangan arah. Maka ketika berhenti bukan di titik potensial, hanya kebekuan yang menampak.

Begitupun ketika memutuskan untuk memulai, bukankah perjalanan besar selalu diawali dengan langkah kecil? Dan pada kenyataannya, seperti sebuah kesepakatan bersama, kita semua sama sama tahu jika yang paling berat adalah langkah awal. Namun ketika sudah mulai memberanikan diri untuk memulai sebuah perjalanan dengan langkah kecil ini, kita pun tahu bahwa ternyata segala sesuatu yang terjadi tidak semenakutkan dari apa yang telah kita bayangkan. :D

Rasanya asyik bukan ketika kita mulai menemukan alur perjalanan itu? Seperti kemudian semua pintu pintu kebuntuan sirna dan mengajak kita untuk tak lelah berjalan. Bahkan jika perlu, berlari dengan senyum kelegaan yang melapang. Ah, setiap perjalanan selalu membawa kita kepada kisah.

Kerikil bahkan perintang jalan juga akan selalu setia menemani. Tapi kembali lagi, kita mau melihatnya sebagai hambatan atau tantangan yang harus dinikmati? Seorang teman pernah menyemangati saya..”yang penting jangan pernah berhenti”. Iya. Yang perlu dilakukan adalah menggali kegigihan diri.

Sekarang hasilnya, tangan saya mulai perih mengapal. Dan saya belum beranjak dari Bab II mahakarya saya. #lhoh.hehehe. dan yang paling penting, jangan kebanyakan sok mikir seperti saya tadi yak, kerjakan dan hadapi saja. Hahaha.

Oke, gundukan pasir itu masih menunggu saya untuk direlokasi.
Dan bab II sudah mulai gatal karena tidak kunjung saya sentuh.
Selamat bertemu lagi, dengan harapan gundukan pasir di tempat baru dan proposal saya sudah terajukan. *aamiin* J

Harapan tak kan menjadi nyata ketika kamu hanya menggantungkannya di angan dan tak pernah berupaya mewujudkannya.



Salam Semangat Solutif Selalu,
@annRidh ^o^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar