Kamu tahu kawan, yang paling aku takutkan adalah ketika
aku telah menyakitimu namun aku tak pernah menyadarinya.
Bukankah lisan pernah menuturkan salam. Pertanda itu
sebuah do’a. untukmu dan untukku. Bahwa itu juga merupakan janji, sebuah
pengupayaan diri agar kita tak saling menyakiti.
Aku berharap, tak hanya lisan
yang bertutur salam namun sejatinya hati kita senantiasa bersalam.
Aku ingin engkau tahu satu hal. Begitu pun aku. Bahwa kita
saling berteman sebagai manusia dan dengan manusia, bukan malaikat. Aku bukan
malaikatmu dan kau pun bukan malaikatku. Kita harus menerimanya dengan penuh
kesadaran dan kerendahan hati.
Lakuku sebagai manusia, membawa kepada fitrohku yang
sering alpa dan lupa. Tapi ilmu telah menuntunkan agar kita saling menasehati
dalam kesabaran dan kebaikan. Namun rupanya harapanku itu terlalu berat
untukmu. Dan ini bukan salahmu. Bukan. Mungkin aku perlu lebih keras lagi
mengasah kepekaanku untuk memahami kelembutan hatimu.
Maka marilah kita belajar berproses bersama. Belajar
menyelesaikan tantangan bersama. Diam tak akan menyelesaikan.
Terimakasih telah pernah merimaku di tengah segala
keterbatasanku dalam memahamimu.
Nyanyianku akan selalu sumbang karena aku (masih)
kehilangan salah satu nadaku. Dan itu kamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar