Senin, 01 Oktober 2012

itu SENJA


  Senja kala itu mengabut. Menyisakan semerbak wangi rantaian bunga – bunga di tepi jalan. Entah mengapa itulah yang terlihat di pelupuk matanya. Ia sangat meyakini, bahwa tak ada yang kebetulan, semua terjadi dengan rahasia – rahasia kecil yang menyembunyikan keindahannya.

Sore itu ia terkesiap akan sebuah janji, berjanji untuk bersitatap dengan seorang asing. Ia tak bisa berpikir lagi, entah apa yang menuntunnya hingga ia melangkahkan kaki dalam perwujudan janji itu. Ia telah bersiap. Bersiap bahwa akan menahan dengan sepenuh hati mengerem laju detak jantungnya, menetralkan warna air mukanya, dan berlaku setenang helaian daun yang tertiup angin.

Hamparan ruang luas terasa sangat menghimpit rasanya. Terpaku dengan keyakinan dan ego yang saling berhantaman. Ia tak berani mengangkat pandangan. Terdiam menatap kosong rentetan huruf di depannya. “hei, kamu membaca atau mengalihkan saja? “,kata sang penanya.
Ia berteriak dalam diamnya..”apa tak kau lihat betapa kerasnya aku menyembunyikan. Tak kau bacakah itu dari gerakan tanganku yang tidak bisa tenang melakukan instruksi otakku.

Tak banyak yang ia dengar dari percakapan temaram itu. Telinganya tiba-tiba menjadi tak berfungsi, tak mampu menangkap ucapan yang berhamburan di udara. Sedangkan mulutnya tak berhenti tersenyum menyembunyikan perlisanan hati yang ingin melompat-lompat keluar dan menyapa ceria.

Ia aneh. Menunjukkan rasa hormatnya dengan tatapan lantai. “aku takut, kau menunduk terlalu dalam.” Tawa sang penanya kepadanya.
Aku menghormatimu, menghormati keberadaanmu, menghormati perasaanku, dan
menghormati apa yang tertulis atas kau dan aku suatu saat nanti.” Sekali lagi, ia hanya mampu menjawab dengan tundukan semakin lama.

Hanya ungkapan sebal yang akhirnya terlontar darinya. Bodoh. Kamu pura-pura membodohi dirimu sendiri, atau memang benar-benar bodoh?

Hari itu, ia berjalan sejajar, tak berdampingan.
Sejajar.
Bukan di depan sebagai penunjuk jalan dan bukan di belakang sebagai bayangan.
Ia tak ingin merasa terjebak, karena ini bukan jebakan yang mengada-ada.
Ada letupan-letupan api. 







Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar