Ia mengenalnya dengan begitu
saja. Mengalir tanpa perencanaan. Seorang yang baru dan hadir dalam
kehidupannya setahun ini. Adik, sebuah kesepakatan awal pemanggilan sebuah nama
untuk orang itu. Huruf terakhir pertama yang hadir.
Malam ini sabtu jua, tapi hujan
membasahinya.. dan ia hanya ingin mengenang sepotong kisah, tanpa destinasi
tertentu..
Malam itu ia seperti baru
benar-benar mengenal sosok si adik, setelah berbulan-bulan terseok mengeja
deras alur pemikiran si adik. Awalnya ia mengenalnya sebagai seorang yang amat
sederhana, terlihat begitu kekanakan, dan cuek dengan segala. Seiring
merambatnya bulan, persepsi itu gugur bersama jatuhnya daun-daun yang coklat di
sepanjang kampus mereka.
Dalam. Pertukaran pesan yang
intens membuatnya belajar banyak. Si adik memperkenalkannya dengan warna baru
dalam kehidupan ini dengan caranya. Sering si adik mencelanya ‘habis-habisan’
karena kebodohan kebodohan yang ia perbuat. Ia tahu, itu hanya cara si adik
untuk memberi pemahaman baru atas apa yang ia alami. Tidak kurang. Tidak juga
berlebih. Oleh karena itu, ia sangat bersyukur bisa merasakan kenyamanan
dengan
celotehan si adik.
“Maaf ya dek, kakakmu yang bodoh ini..
tak selalu mampu
menerjemahkan kosa katamu.”
Seperti seminggu ini, kala ia
hanya mendiamkan si adik tanpa kesal. Bukan karena kesalahan, hanya sebab
ketakutan yang tiba-tiba membayangi diri.
Di malam hari Sabtu ini, hanya
pesan yang mampu terkirim….
“ini seharusnya purnama sempurna
bukan…
tapi ia sembunyi di sunyi yang
paling tepi pada selendang langit.
Lihatlah untaian doa ibu terburai
menetes membasahi tanahmu.
Do’akan, do’akan, do’akan.”
*19 oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar