Senin, 21 Oktober 2013

Suatu malam di hari sabtu

Ia mengenalnya dengan begitu saja. Mengalir tanpa perencanaan. Seorang yang baru dan hadir dalam kehidupannya setahun ini. Adik, sebuah kesepakatan awal pemanggilan sebuah nama untuk orang itu. Huruf terakhir pertama yang hadir.

Malam ini sabtu jua, tapi hujan membasahinya.. dan ia hanya ingin mengenang sepotong kisah, tanpa destinasi tertentu..

Malam itu ia seperti baru benar-benar mengenal sosok si adik, setelah berbulan-bulan terseok mengeja deras alur pemikiran si adik. Awalnya ia mengenalnya sebagai seorang yang amat sederhana, terlihat begitu kekanakan, dan cuek dengan segala. Seiring merambatnya bulan, persepsi itu gugur bersama jatuhnya daun-daun yang coklat di sepanjang kampus mereka.

Dalam. Pertukaran pesan yang intens membuatnya belajar banyak. Si adik memperkenalkannya dengan warna baru dalam kehidupan ini dengan caranya. Sering si adik mencelanya ‘habis-habisan’ karena kebodohan kebodohan yang ia perbuat. Ia tahu, itu hanya cara si adik untuk memberi pemahaman baru atas apa yang ia alami. Tidak kurang. Tidak juga berlebih. Oleh karena itu, ia sangat bersyukur bisa merasakan kenyamanan 
dengan celotehan si adik.



“Maaf ya dek, kakakmu yang bodoh ini..
 tak selalu mampu menerjemahkan kosa katamu.”

Seperti seminggu ini, kala ia hanya mendiamkan si adik tanpa kesal. Bukan karena kesalahan, hanya sebab ketakutan yang tiba-tiba membayangi diri.

Di malam hari Sabtu ini, hanya pesan yang mampu terkirim….

“ini seharusnya purnama sempurna bukan…
tapi ia sembunyi di sunyi yang paling tepi pada selendang langit.
Lihatlah untaian doa ibu terburai menetes membasahi tanahmu.
Do’akan, do’akan, do’akan.”



*19 oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar